Foto Saya Bersama Keluarga

IDE PENYIDIKAN

Blog ini berisi catatan investigasi pidana korupsi, silahkan memberikan komentar dan masukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

Selasa, Mei 27, 2008

PANDUAN PRAKTIS PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PANDUAN PETUNJUK PRAKTIS PENANGANAN KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN
Ada dua kemungkinan mengapa korupsi tidak mendapatkan tempat terhormat dalam pola pemikiran para pembesar-pembesar negeri kita. Pertama korupsi dipandang sebagai masalah mikro yang dampaknya kurang signifikan bagi tumbuhnya bangsa ini, pembesar-pembesar kita lebih asik membicarakan masalah suksesi, ekonomi makro, bahaya disintegrasi, atau perkembangan sosial budaya. Kedua, sistim berpikir kita sudah menempatkan soal korupsi sebagai kondisi yang sudah lumrah, karena begitu dominannya perbuatan korupsi melingkupi kita dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan korupsi sudah dapat dilihat dan dirasakan sejak lahir sampai mati, dimana kita mengurus soal kelahiran dan kematian tidak akan dapat lancar tanpa ada uang lebih sebagai pelicin untuk pengurusannya.
Korupsi telah membudaya kata para ahli, perilaku korup memang telah menjadi perilaku hidup keseharian kita, bahkan kita dapat menemukannya dalam lembaga penyidikan korupsi yang nota bene tugasnya memberantas tindak pidana korupsi. Memang alasan pemaaf banyak dikemukakan untuk menutupi tindakan tersebut seperti gaji kecil yang hanya cukup hidup mingguan saja atau sarana dan prasarana dari negara yang masih minim. Hal ini menjadi dilema bagi negara dan bangsa dalam memberantas korupsi.
Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia juga makin berkembang dari metoda sederhana sampai yang paling rumit. Dari uang suap, titip jasa kepada para kontraktor besar, sampai kepada pengendapam transfer dana antar bank dalam rekening pribadinya dan kasus perkreditan.
I.A. Definisi Korupsi
Dalam Webster’s Third New International Dictionary mencantumkan definisi korupsi sebagai “ ajakan (dari seorang pejabat public) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”. Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut : adanya pelaku atau beberapa orang pelaku, adanya tindakan yang melanggar norma-norma hukum, adanya unsur merugikan keuangan atau kekayaan negara, baik langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok/golongan tertentu.
Pengertian KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4 dan 5 Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “ korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan per-Undang-Undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.”
Pengertian Kolusi dimuat pada pasal 1 butir 4 Undang-Undang No.28 tahun 1999, sebagai berikut :
“Permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggaraan negara atau antara penyelenggara negara dan lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara”. Pengertian Nepotisme dirumuskan pada Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 28 tahun 1999, sebagai berikut :
“Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggra Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.”
Tindak pidana korupsi berdasarkan pasal 2 undang-undang No.20 tahun 2001 dapat diartikan sebagai :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Pengertian korupsi secara sederhana ada 3, pertama menguasai atau mendapatkan uang dari negara dengan berbagai cara secara tidak syah dan dipakai untuk kepentingan sendiri, kedua, menyalahgunakan wewenang (abuse of Power). Wewenang disalahgunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain, yang ketiga adalah pungli atau pungutan liar yang dilakukan karena jabatannya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dimuat pengertian korupsi sebagai berikut :
“ penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. Namun kita tidak akan habisnya untuk membhas definisi korupsi, Karena hal yang terpenting adalah membahas car-cara untuk memberantas korupsi. I.B. Undang-Undang Yang Mengatur Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 3 tahun 1971.
Undang-undang No.31 tahun 1999.
Undang-undang No.20 tahun 2001.
Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang penyelengggaraan negara yang bersih bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
BAB II PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Sejak undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan dalam pasal 44 dinyatakan bahawa undang-undang no.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak undang-undang no.31 tahun 1999 diundangkan, dianggap adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 31 tahun 1999. Padahal jelas di dalam azas Nullum Delictum (Peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu). Dan di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP sudah dijelaskan : “ jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka diadakan perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999 menjadi Undang-undang No.20 tahun 2001.
Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa dan khusus, seperti penerapan system pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Di dalan undang-undang ini diatur ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang syah, yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronok (email), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

II.A. Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimanaimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana.

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah: atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Rumusan pasal 2 ayat 1 tentang tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mmeperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu miliar rupiah). Unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah :
1) Melawan Hukum
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
3) Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Penjelasan unsur-unsur tersebut adalah :

1) Melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, baik secara formil ataupun dalam arti materiil, maksudnya yakni walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social maka perbuatan tersebut, dapat dipidana.

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi maksudnya adalah mendapatkan/menambah kekayaan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum.

3) Dapat merugikan keuangan /perekonomian negara maksudnya adalah karena perbuatan sii pelaku Keuangan/perekomian negara rugi atau berkurang kekayaannya yang harus dibuktikan dengan perhitungan ahli dalam hal ini akuntan negara atau yang ditunjuk yaitu BPKP atau BPK.

4. Penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan hal ini diatur dalam pasal 3 Undang-undang No.20/2001, yang bunyinya sebagai berikut :
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Rumusan Pasal 3 tersebut adalah :

Dengan maksud;
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;
Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanaya karena jabatan atau kedudukan ;
Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.

5. Pengembalian kerugian negara diatur sendiri pada Pasal 4 mengatur pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.

6. Pasal-Pasal yang mengatur para pegawai/pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi adalah pada:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000. (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000. (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000. (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadikan advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2). Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000. (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang ;
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a ;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasiomal Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000. (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000. (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000. (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000. (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar; atau
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah dan janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tyidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan , menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili.
e. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
f. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau , seolah-olah Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas Umum tersebut mempunyai utang kepoadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahak diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.


II.B. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung, atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam Perkara Korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

II.C. PENYIDIK, PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
II.C.1. Penyidik
Pada saat ini “Penyidik” tindak pidana Korupsi dilakukan baik oleh Kejaksaan maupun oleh Penyidik Polri, bahkan sekarang telah ada lembaga baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik – penyidik tersebut mempunyai dasar hukum sendiri. Dasar hukum yang memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana Korupsi kepada kejaksaan adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“ Dalam waktu 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara berlaku ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu , sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi “
Penjelasan resmi Pasal 284 ayat (2) KUHAP, antara lain adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana. ”Tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2001 memuat ketentuan Khusus acara pidana antara lain :
- Tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami serta anak-anaknya dan harta benda korporasi yang diketahuinya ( Pasal 28);
- Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah (Pasal 37)’
- Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alas an yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diptuts tanpa kehadirannya (Pasal 38);
- Dan lain-lain.
Dasar hukum tentang kewenangan Penyidik Polri melakukan penyidikan tindak Pidana Korupsi, termuat dalam Undang- Undang No. 28 tahun 1997 adalah Pasal 14 ayat (1) huruf h, yang bunyinya sebagai berikut : “melakukan penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya “.
Penjelasan resmi atas Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut : “ Ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyelidikan dan Penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing “.
Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi telah diatur didalam Undang-Undang sendiri yaitu pada Undang Undang No. 20 tahun 2003.
II.C.2. Penyelidikan
Pengertian “ Penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini “.
Berbeda dengan tindak pidana umum yang data awal diperoleh dari laporan atau pengaduan, tindak pidana Korupsi data awal diperoleh, antara lain dari :
- Menteri/Itjen/Bawasda/Bawasko
- BPKP ; BPK.
- Aparat Intelijen ;
- DPR, yang merupakan hasil Audit BPK.
- Masyarakat.
- Lembaga swadaya masyarakat
- Dll
Setelah adanya data awal maka diterbitkan “ Surat Perintah Penyelidikan “ untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana Korupsi yang terjadi, dan guna memperoleh “ Bukti permulaan yang cukup “ tetapi dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyelidikan, banyak orang berprasangka bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi, hal demikian merupakan sesuatu kekeliruan karena adakalanya tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup.
“ Diperoleh bukti permulaan yang cukup “ atau “ tidak” selain mendasari kepada pasal 184 KUHAP juga harus diputuskan setelah dilakukan gelar perkara. Jika “ tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup “ maka penyelidikan tersebut berakhir. Sedang jika ditemukan bukti yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ketahap Penyidikan, dan selanjutnya diterbitkan surat perintah Penyidikan.
Bukti permulaan yang cukup apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti terpenuhi, berdasarkan pasal 184 KUHAP ayat (1), Alat bukti yang sah ialah:
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa/tersangka
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang Pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah berharap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri digunakansebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehinggadapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c) Alasan yang mungkin dipegunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Pasal 186
Keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal 187
Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangan itu ;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar siding dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
II.C.3. Penyidikan
a. Pengertian Penyidikan dimuat dalam pasal 1 butir 2 KUHAP :
“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya “
Aparat Penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Penyidikan, setelah menerima surat perintah tersebut segera membuat “ Rencana penyidikan (Rendik) seraya mempelajari/memahami hasil penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat menentukan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang mendukung penyimpangan-penyimpangan tersebut, dengan demikian akan dapat ditemukan “ Modus Operandi “
Tidak semua perkara tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ketahap pelimpahan ke Penuntut Umum. Jika ada salah satu unsur, tidak didukung alat bukti atau adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan Yurisprodensi, antara lain karena sifat melawan hukum tidak terbukti, atau ada kepentingan umum/negara yang lebih besar, pengembalian asset negara yang lebih difokuskan, maka perkara tersebut diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP).
Jika perkara yang disidik didukung alat bukti maka penyidikan dilanjutkan ketahap pelimpahan. Umumnya, sebelum ditentukan suatu perkara ditingkatkan ketahap pelimpahan atau di SPPP akan dilakukan, pemaparan ( gelar perkara). Pada pemaparan tersebut akan jelas tampak hasil-hasil penyidikan. Sebaiknya sebelum gelar, telah disiapkan materi ringkas (Matrix) yang membantu para peserta pemaparan untuk dengan mudah memahami hasil-hasil penyidikan karena dengan matrix tersebut, dapat dilihat setiap unsur dan semua alat bukti yang ada dan yang telah dihimpun.
Penyidikan sesuai dengan Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan kasus-kasus korupsi pada umumnya didahului dengan langkah/proses penyelidikan, dimana di dalam pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Penyidik terlebih dahulu membuat laporan informasi yang sumbernya dari masyarakat (sumber harus dirahasiakan dan dilindungi).
2. Kemudian melengkapi administrasi berupa surat perintah penyelidikan dan surat perintah tugas. Apabila telah selesai melaksanakan tugas penyelidikan, penyidik membuat laporan pelaksanaan tugas, apa saja yang didapat dari lapangan dituangkan secara jelas terutama dua alat bukti yang sudah harus terpenuhi apabila kasusnya akan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Apabila tidak terpenuhi unsurnya dan tidak adanya alat bukti, maka kasus tersebut dapat dihentikan.
Didalam proses penyidikan korupsi kita masih memakai acara yang diatur dalam kitab undang hukum acara pidana (KUHAP). Selain itu adapula ketentuan – ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang no. 31 tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 2001. ketentuan-ketentuan khusus tersebut telah dibahas dibagian lain. Dalam penanganan perkara korupsi unsur kerugian negara adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi, oleh sebab itu untuk menentukan kerugian negara dibutuhkan keterangan / pendapat ahli dalam hal ini BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
b. Langkah-langkah penyidikan yang digunakan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi :
1) Membuat Laporan Polisi, setelah sebelumnya melakukan proses penyelidikan dan dua alat bukti sudah terpenuhi, selanjutnya administrasi penyidikan dibuat yaitu berupa surat perintah tugas, surat perintah penyidikan dan kelengkapan administrasi lainnya.
2). Pemanggilan Saksi :
- Surat Panggilan harus jelas isinya, nama yang memanggil, pekerjaan, alamat, hari, tanggal, jam tempat penyidikan dan ditandatangani oleh Kepala selaku Penyidik.
- Pengiriman Surat Panggilan disertai dengan Surat Pengantar dan mencantumkan nama, pangkat Penyidik No Tlp yang dapat dihubungi.
- Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos tercatat.
- 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112 (1) KUHP).
3). Pemanggilan Tersangka :
- Pemanggilan Tersangka sudah harus mempunyai bukti permulaan yang cukup.
- Dua alat bukti sudah terpenuhi Psl 184, 185 KUHAP.
- Telah melakukan gelar perkara dihadapan Kepala Satuan masing-masing.
- Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos tercatat.
- 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112 (1) KUHP).
4). Pemanggilan Ahli:
- Setiap perkara korupsi membutuhkan ahli untuk menghitung kerugian negara.
- Ahli yang ditunjuk untuk menghitung kerugian negara adalah BPKP dan BPK.
- Demikian juga ahli lainnya yaitu ahli Hukum, ahli Bangunan, perusahaan Apraisal, ahli tehnik, ahli perbankan dari Bank Indonesia dan ahli lainnya sesuai yang perkara yang sedang ditangani.
- Surat permohonan ahli ditujukan kepada kantor/badan yang akan kita mintai keterangannya sebagai ahli.
5). Pemeriksaan saksi/ahli/tersangka:
-Penyidik / Penyidik pembantu harus membuat konsep pertanyaan yang mencakup unsur-unsur subyektif dan obyektif pasal yang dituduhkan.
- Dalam pemeriksaan Penyidik / Penyidik Pembantu wajib mengumpulkan dan mencari alat bukti sesuai dengan psl 186 KUHAP.
- Penyidik / Penyidik Pembantu harus memahami Pasal 114, 115, 116, 117, 118, 119 dan 120 KUHAP tentang tata cara / proses pemeriksaan Saksi / Ahli / Tersangka.
6). Penyitaan
-Penyidik terlebih dahulu mendapat Surat izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan sangat mendesak, harus segera bertindak dan berkewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuan.
- Membuat Berita Acara Penyitaan, dibacakan, diberi tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang bersangkutan / keluarga / kepala desa lingkungan dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan Penyidik , keluarga yang barangnya disitadan kepala desa (pasal 129 ayat 1, 2, 3, 4).
- Memahami pasal penyitaan yang terdapat didalam KUHAP pasal 1 butir 16, pasal 38,40,41,42,43, 128,129,130,44,45.
7). Penggeledahan
- Terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal kepada Tersangka atau Keluarga (famili).
- Harus disaksikan oleh 2 (dua) orang Saksi dalam hal tersangka penghuni setuju, atau oleh Kepala Desa, Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi dalam hal tersangka / penghuni menolak atau tidak hadir (pasal 33 ayat 4 dan 4)
- Memahami pasal pasal penggeledahan ( pasal 33, 34, 125, 126, 127)
- Membuat Berita Acara tentang jalannya hasil penggeledahan dan turunanya disampaikan kepada pemilik / penghuni.
- Untuk penggeledahan badan disesuaikan, untuk wanita, polwan yang melakukan.
- Dilakukan secara arif dan bijaksana.
8). Penangkapan - Perintah dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP).
- Memperlihatkan identitas, menunjukkan Surat Perintah Tugas, tidak arogan.
- Tidak adanya unsur kekerasan.
- Disaksikan oleh Kepala Lingkungan RT / RW.
- Tidak menggunakan media cetak dan elektronika dalam proses penangkapan.
- Memberikan kepada Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penagkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat Ia diperiksa, tembusannya diberikan kepada Keluarga.
- Memahami pasal 16, 17, 18 dan 19 KUHAP.
9). Penahanan
- Menjelaskan kepada Tersangka bahwa Tindak Pidana yang telah dilakukan olehnya telah cukup bukti dan memperhatikan pasal 21 ayat 4 KUHP.
- Menunjukan Surat Perintah Penahanan kepada Tersangka.
- Membuat Berita Acara Penahanan.
- Penyidik / Penyidik Pembantu tidak dibenarkan menakut-nakuti tersangka yang akan ditahan.
- Mengirim surat kepada keluarga tersangka dan dibuatkan tanda terima dalam wakti 1 X 24 Jam.
- Sebelum memasukkan keruang sel tahanan agar dicek kesehatan, difoto dan diambil sidik jari tersangka.
- Apabila Tersangka tidak mau menandatangani surat perintah penahanan penyidik / penyidik pembantu membuat Berita Acara penolakan ditandatangani oleh Saksi.
- Dilengkapi dengan Surat Perintah Penahanan.
- Dicatat jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan surat pemberitahuan penahanan kepada keluarga tersangka.
- Perlu diingat jangka waktu penahanan terbatas (pasal 29 KUHAP)
- Pemeriksaan tersangka harus mulai dilakukan dalam satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan (psl 122 KUHAP).
10). Penyelesaian Berkas Perkara
- Penyidik, Penyidik Pembantu wajib memberitahukan hasil perkembangan penyidikan kepada Pelapor (SP2HP) setelah 20 hari penanganan perkara.
- Penyidik / penyidik Pembantu harus berani mengambil sikap menentukan perkara tersebut. Apabila cukup bukti segera limpahkan, sedangkan tidak cukup bukti, demi hukum bukan tindakan pidana segera hentikan.
- SP3 diberikan tembusanya kepada Pelapor dan Tersangka. - Penyidik / Penyidik Pembantu Melakukan Gelar Perkara sebelum menerbitkan SP3.
- Apabila Perlu Pelapor / penasehat hukumnya mengikuti gelar perkara dimaksud.
II.C.4. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi
1. Pemerasan pajak
· Pemeriksaan pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kekurangan tersebut selanjutnya dianggap tidak ada atau berkurang jumlahnya. Sebagai imbalan, wajib pajak harus membayarkan sebagian dari kekurangan tersebut ke kantong pribadi pemeriksa pajak.
2. Pembayaran fiktif
· Pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
· Pembayaran penuh untuk pekerjaan yang tidak selesai
· Pembayaran untuk pekerjaan atau pembelian yang tidak dilakukan
· Mengisi sendiri bukti pendukung pengeluaran
3. Manipulasi perjalanan dinas
· Pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
· Pembayaran penuh untuk pekerjaan yang tidak selesai
· Pembayaran untuk pekerjaan atau pembelian yang tidak dilakukan
· Mengisi sendiri bukti pendukung pengeluaran
4. Pelelangan
· Calon pemenang sudah ditentukan diawal (kolusi dan nepotisme)
· Tidak meminta uang jaminan bagi peserta lelang
· Memberitahukan plafon dana yang tersedia
· Menciptakan peserta tender fiktif
5. Manipulasi tanah
· Pimpinan proyek dan konco-konconya membeli tanah yang akan dibebaskan dan menjualnya dengan harga tinggi
· Meninggikan harga pembebasan tanah untuk pembangunan
· Pimpinan proyek dan aparat Pemda membayar ganti rugi atas tanah negara yang seharusnya tidak perlu ganti rugi.
6. Manipulasi kredit
· Memanipulasi daftar calon nasabah dan uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi
· Menggunakan sebagian atau seluruh dana pengembalian kredit nasabah untuk kepentingan pribadi
· Menggunakan data-data palsu dan agunan kredit milik orang lain
7. Harga kontrak terlalu tinggi
· Pengadaan barang dengan penunjukan langsung (tidak melalui mekanisme tender)
· Membuat Rencana Anggaran Belanja dengan harga satuan yang lebih tinggi (mark up), memperpanjang jarak angkut
· Mengubah status tanah kebun, sawah menjadi tanah pemukiman
· Jasa konsultan dibuat seolah-olah berkali-kali, padahal hanya satu kali
· Panitia lelang menetapkan pemenang dari tawaran yang paling rendah tanpa membandingkan dengan owner estimate.
8. Kelebihan pembayaran
· Volume pekerjaan yang dibayar, melebihi dari yang seharusnya.
· Jumlah pengadaan barang lebih kecil dari jumlah yan dibayar.
· Harga yang dibayar melebihi harga wajar.
9. Ketekoran kas
· Meminjam uang proyek untuk kepentingan pribadi namun dibuat seolah-olah untuk kepentingan dinas.
· Mengambil uang proyek dengan memalsukan tanda tangan
· Pemegang kas membuat pembukuan ganda dan menunda pembukuan penerimaan.
· Pengeluaran kas tanpa seizing pemberi otorisasi
10. Penggunaan dana tidak sesuai ketentuan
· Dana dipinjamkan di luar kepentingan dinas
· Asset yang ada disewakan kepada orang lain sementara uang sewa masuk ke kantong pribadi, sementara biaya operasional untuk asset tersebut tetap diambil dari anggaran rutin
11. Uang komisi
· Membuat komitmen lisan untuk menerima komisi sekian persen dari dana yang ditempatkan di bank atau badan keuangan lain.
· Komisi dari rekanan yang menerima proyek
12. Penggelapan uang negara
· Bunga uang proyek didepositokan dan tidak disetorkan ke kas negara
· Penggelapan hasil keuntungan kerja sama PUSKUD, penggelapan hasil penerimaan piutang.
· Subsidi dalam bentuk uang diubah dalam bentuk barang di mana jenis dan harganya ditemukan secara.....
13. Pemalsuan dokumen
· Menambah/mengurangi data dalam tanda bukti pengeluaran/penerimaan
· Menjual illegal BBM kepada pihak III dan ditutupi dengan pemalsuan jumlah pemakaian BBM
· Meminta rekanan untuk menyiapkan kwitansi kososng yg sudah dicap dan ditandatangani
· Putusan kasasi MA dipalsukan
14. Pungutan liar
· Meminta jatah dari rekanan yang dipilih
· Retribusi tanpa surat resmi, dana tidak masuk kas negara melainkan masuk kantong pribadi
· Ada uang pelicin untuk setiap pengurusan ijin
15. Penundaan pembayaran kepada rekanan
· Uang untuk membayar tagihan rekanan tidak langsung dibayarkan, tapi dsimpan dulu di rekening pribadi beberapa bulan untuk menerima bunga depositonya.
16. Manipulasi proyek
· Pengiriman barang/pendirian bangunan tidak sesuai spesifikasi teknis.
· Jual beli proyek.
· Mark up harga proyek.

II.C.5. PERATURAN PERUNDANGAN - UNDANGAN YANG BERHUBUNGAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang tentang penyuapan No. 11 tahun 1980.
Undang-Undang tentang Perbankan No. 10 tahun 1998
Undang-Undang Money Laundering No. 15 tahun 2002
Undang-Undang Perpajakan No. 9, 10 dan 11 tahun 2000
Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai No.10 tahun 1995
Undang-Undang tentang Perusahaan Terbatas No. 1 tahun 1995
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR, MPR.
Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999.
Kitab Undang Hukum Pidana.
Kepres No.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 1981.
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, No.20 tahun 2003.
Undang-Undang tentang penyelenggaraan pemerintah yang bersih bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
KEPPRES No.80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.


II.C.6. KERJASAMA LEMBAGA PEMERINTAH DAN NON PEMERINTAH
Dalam penanganan tindak pidana korupsi tidak mungkin kita bekerja sendiri untuk mengungkap/menyidik perkara tersebut, karena dibutuhkan keterangan atau bantuan dari lembaga-lembaga yang memang ditunjuk oleh peraturan seperti BPKP dan BPK yang ditugaskan sebagai akuntan negara untung menghitung kerugian negara sebagai salah satu unsur dalam pembuktian perkara korupsi. Namun adapula lembaga lain yang memang karena keahlian dapat membantu kita mengungkap perkara korupsi seperti Fakultas ilmu hukum Universitas Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan lembaga-lembaga lainnya yang saya sebutkan dibawah:
Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pemeriksa dan Keuangan Pembangunan Departemen Dalam Negeri.
Departemen Kehakiman dan Ham (Direktorat Jenderal Perundang-undangan).
Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam dan Luar Negeri)
Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai).
Bank Indonesia Inspektorat Jenderal setiap Departemen Universitas Indonesia (Fakultas Ilmu Hukum, Lembaga Pranata UI, Fakultas Ilmu Ekonomi).
Badan Pengawas Daerah setiap Profinsi
Keahlian Tehnik (Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia)
Lembaga Management Kelistrikan (kasus korupsi alat kelistrikan yang menyalahi spesifikasi)
Indonesian Corruption Watch
Masyarakat Transparansi Indonesia
Rekan-rekan Pers (Media cetak dan elektronik).
dan lembaga lainnya.


III. KESIMPULAN
Penanganan kasus tindak pidana korupsi tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, karena selain kita mendasari kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam KUHAP ada ketentuan lain yang di atur di dalam Undang-Undang Korupsi, begitu juga di dalam pembuktiannya sangat tergantung kepada ahli untuk menghitung kerugian negaranya karena kerugian negara adalah salah satu unsure dalam pembuktian. Di dalam kasus korupsi juga dipelukan waktu yang lebih lama dalam proses penyidikan dibandingkan penyidikan tindak pidana umum.
Perkara Korupsi juga tidak menjadi gugur karena adanya pengembalian asset negara, seperti yang di atur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi. Dalam kasus korupsi juga selalu bersentuhan kepentingan lain yaitu berupa kepentingan politik, ekonomi , social dan budaya. Oleh sebab itu tingkat ketelitian, kesabaran dan kepandaian dalam mengungkap adalah sangat penting. Procedural dan professional dalam penyidikan harus dilaksanakan, karena masyarakat umum selalu melihat dan memantau hasil kerja kita.
IV. PENUTUP
Didalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, tidak semata-mata penindakan hukum saja, melainkan yang terlebih penting adalah penyelamatan asset-aset negara yang telah hilang untuk diselamatkan. Didalam penanganan korupsi juga selalu bersentuhan dengan bidang lain, seperti politik, social, budaya dan hankam. Oleh sebab itu dalam penanganannya harus lebih hati-hati, prosedural, dan professional. Semoga sukses selalu untuk kita dalam mengungkap dan meberantas tindak pidana korupsi ini.
Demikian panduan penanganan kasus tindak pidana korupsi ini selesai dibuat dan dapat digunakan untuk menjadi pedoman, petunjuk bagi penyidik reserse criminal yang melaksanakan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi juga diharapkan meningkatkan kerja agar lebih professional dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.