Foto Saya Bersama Keluarga

IDE PENYIDIKAN

Blog ini berisi catatan investigasi pidana korupsi, silahkan memberikan komentar dan masukan untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.

Rabu, Juli 02, 2008

”PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA”.

PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA
Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata.
Hukum acara pidana itu:

Bertujuan mencari kebenaran material, yaitu kebenaran sejati atau yang sesungguhnya
Hakimnya bersifat aktif. Hakim berkewajiban untuk mendapatkan bukti yang cukup untuk membuktikan tuduhan kepada tertuduh
Alat buktinya bisa berupa keterangan saksi,keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.

DASAR HUKUM PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA
Dasar hukum tentang pembuktian dalam hukum acara pidana mengacu pada pasal 183-189 KUHAP (Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana).

JENIS ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA
Menurut pasal 184 KUHAP, alat bukti dalam perkara pidana bisa berupa keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hal-hal yang sudah diketahui umum,tidak perlu dibuktikan lagi.

Pada prinsipnya, penggunaan alat bukti saksi dan surat dalam hukum acara pidana tidak berbeda dengan hukum acara perdata. Baik dalam bentuk maupun kekuatannya. Namun, ada alat bukti lain yang perlu diketahui dalam perkara pidana, diantaranya adalah:

1. Keterangan Ahli
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Misal:
Dalam pelaksanaan PPK telah terjadi penyalahgunaan dana oleh oknum. Fakta itu ditemukan setelah ada pemeriksaan (audit) oleh auditor BPKP. Nah, auditor BPKP ini dapat menjadi saksi ahli atas peristiwa yang terjadi. Keterangannya dapat digunakan dalam proses perkara pidana.Jadi, seorang ahli itu dapat menjadi saksi. Hanya saja, saksi ahli ini tidak mendengar, mengalami dan/atau melihat langsung peristiwa pidana yang terjadi.

Berbeda dengan ”saksi” yang memberi keterangan tentang apa yang didengar, dialami dan/ atau dilihatnya secara langsung terkait dengan peristiwa pidana yang terjadi.Sama halnya dengan seorang ”saksi”, menurut hukum, seorang saksi ahli yang dipanggil di depan pengadilan memiliki kewajiban untuk:

Menghadap/ datang ke persidangan, estela dipanggil dengan patut menurut hukum
Bersumpah atau mengucapkan janji sebelum mengemukakan keterangan (dapat menolak tetapi akan dikenai ketentuan khusus)
Memberi keterangan yang benar Bila seorang saksi ahli tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka dia dapat dikenai sanksi berupa membayar segala biaya yang telah dikeluarkan dan kerugian yang telah terjadi.

Akan tetapi seorang ahli dapat tidak menghadiri persidangan jika memiliki alasan yang sah.

Menurut pasal 180 KUHAP, keterangan seorang ahli dapat saja ditolak untuk menjernihkan duduk persoalan. Baik oleh hakim ketua sidang maupun terdakwa/ penasehat hukum. Terhadap kondisi ini, hakim dapat memerintahkan melakukan penelitian ulang oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda, serta instansi lain yang memiliki kewenangan.

Kekuatan keterangan ahli ini bersifat bebas dan tidak mengikat hakim untuk menggunakannya apabila bertentangan dengan keyakinan hakim.

Dalam hal ini, hakim masih membutuhkan alat bukti lain untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya.

2. Alat Bukti Petunjuk
Menurut pasal 188 KUHAP, Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang diduga memiliki kaitan, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu, petunjuk juga merupakan alat bukti tidak langsung.

Penilaian terhadap kekuatan pembuktian sebuah petunjuk dari keadaan tertentu, dapat dilakukan oleh hakim secara arif dan bijaksana, setelah melewati pemeriksaan yang cermat dan seksama berdasarkan hati nuraninya.

3. Keterangan Terdakwa/ Pelaku
Menurut pasal 194 KUHAP, yang dimaksud keterangan terdakwa itu adalah apa yang telah dinyatakan terdakwa di muka sidang, tentang perbuatan yang dilakukannya atau yang diketahui dan alami sendiri.

Pengertian keterangan terdakwa memiliki aspek yang lebih luas dari pengakuan, karena tidak selalu berisi pengakuan dari terdakwa.Keterangan terdakwa bersifat bebas (tidak dalam tekanan) dan ia memiliki hak untuk tidak menjawab.

Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa,tergantung pada alat bukti lainnya (keterangan
terdakwa saja tidak cukup) dan hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.

BARANG BUKTI & KEGUNAANNYA
Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Secara material, barang bukti yang ada bermanfaat bagi hakim untuk memperkuat keyakinan hakim dalam proses persidangan.Bahkan sering kali hakim dapat membebaskan
seorang terdakwa berdasarkan barang bukti yang ada dalam proses persidangan (setelah melewati proses yang arif, bijaksana, teliti, cermat dan saksama).

Jika dicermati, pembuktian dalam proses perkara pidana tidak mudah. Oleh karena itu, jika terjadi kasus pidana dalam pelaksanaan PPK, sebaiknya terlebih dahulu dimanfaatkan berbagai alternative penanganan yang mudah, murah dan praktis untuk lebih mempercepat penyelesaian masalah.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuktian hukum acara pidana:

Putusan hakim minimal didasarkan pada dua alat bukti yang saling mendukung satu dengan yang lain.

Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.

Disamping alat bukti yang ditetapkan dalam KUHAP, alat bukti lain adalah hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan.



* Disunting dari berbagai sumber dan semoga bermanfaat....

Selasa, Mei 27, 2008

PANDUAN PRAKTIS PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

PANDUAN PETUNJUK PRAKTIS PENANGANAN KASUS
TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN
Ada dua kemungkinan mengapa korupsi tidak mendapatkan tempat terhormat dalam pola pemikiran para pembesar-pembesar negeri kita. Pertama korupsi dipandang sebagai masalah mikro yang dampaknya kurang signifikan bagi tumbuhnya bangsa ini, pembesar-pembesar kita lebih asik membicarakan masalah suksesi, ekonomi makro, bahaya disintegrasi, atau perkembangan sosial budaya. Kedua, sistim berpikir kita sudah menempatkan soal korupsi sebagai kondisi yang sudah lumrah, karena begitu dominannya perbuatan korupsi melingkupi kita dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan korupsi sudah dapat dilihat dan dirasakan sejak lahir sampai mati, dimana kita mengurus soal kelahiran dan kematian tidak akan dapat lancar tanpa ada uang lebih sebagai pelicin untuk pengurusannya.
Korupsi telah membudaya kata para ahli, perilaku korup memang telah menjadi perilaku hidup keseharian kita, bahkan kita dapat menemukannya dalam lembaga penyidikan korupsi yang nota bene tugasnya memberantas tindak pidana korupsi. Memang alasan pemaaf banyak dikemukakan untuk menutupi tindakan tersebut seperti gaji kecil yang hanya cukup hidup mingguan saja atau sarana dan prasarana dari negara yang masih minim. Hal ini menjadi dilema bagi negara dan bangsa dalam memberantas korupsi.
Tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia juga makin berkembang dari metoda sederhana sampai yang paling rumit. Dari uang suap, titip jasa kepada para kontraktor besar, sampai kepada pengendapam transfer dana antar bank dalam rekening pribadinya dan kasus perkreditan.
I.A. Definisi Korupsi
Dalam Webster’s Third New International Dictionary mencantumkan definisi korupsi sebagai “ ajakan (dari seorang pejabat public) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”. Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut : adanya pelaku atau beberapa orang pelaku, adanya tindakan yang melanggar norma-norma hukum, adanya unsur merugikan keuangan atau kekayaan negara, baik langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok/golongan tertentu.
Pengertian KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) dimuat dalam Pasal 1 butir 3, 4 dan 5 Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “ korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan per-Undang-Undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.”
Pengertian Kolusi dimuat pada pasal 1 butir 4 Undang-Undang No.28 tahun 1999, sebagai berikut :
“Permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggaraan negara atau antara penyelenggara negara dan lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara”. Pengertian Nepotisme dirumuskan pada Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 28 tahun 1999, sebagai berikut :
“Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggra Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarga dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.”
Tindak pidana korupsi berdasarkan pasal 2 undang-undang No.20 tahun 2001 dapat diartikan sebagai :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Pengertian korupsi secara sederhana ada 3, pertama menguasai atau mendapatkan uang dari negara dengan berbagai cara secara tidak syah dan dipakai untuk kepentingan sendiri, kedua, menyalahgunakan wewenang (abuse of Power). Wewenang disalahgunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain, yang ketiga adalah pungli atau pungutan liar yang dilakukan karena jabatannya.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dimuat pengertian korupsi sebagai berikut :
“ penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”. Namun kita tidak akan habisnya untuk membhas definisi korupsi, Karena hal yang terpenting adalah membahas car-cara untuk memberantas korupsi. I.B. Undang-Undang Yang Mengatur Tindak Pidana Korupsi
Undang-undang No. 3 tahun 1971.
Undang-undang No.31 tahun 1999.
Undang-undang No.20 tahun 2001.
Undang-undang No.28 tahun 1999 tentang penyelengggaraan negara yang bersih bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
BAB II PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Sejak undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut. Hal ini disebabkan dalam pasal 44 dinyatakan bahawa undang-undang no.3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak undang-undang no.31 tahun 1999 diundangkan, dianggap adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang nomor 31 tahun 1999. Padahal jelas di dalam azas Nullum Delictum (Peristiwa pidana tidak akan ada jika ketentuan pidana dalam undang-undang tidak ada terlebih dahulu). Dan di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP sudah dijelaskan : “ jikalau undang-undang diubah, setelah perbuatan itu dilakukan, maka kepada tersangka dikenakan ketentuan yang menguntungkan baginya”.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka diadakan perubahan atas undang-undang No.31 tahun 1999 menjadi Undang-undang No.20 tahun 2001.
Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa dan khusus, seperti penerapan system pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Di dalan undang-undang ini diatur ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang syah, yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronok (email), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

II.A. Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang kepegawaian.

b. Pegawai negeri sebagaimanaimaksud dalam kitab undang-undang hukum pidana.

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah.

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah: atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Rumusan pasal 2 ayat 1 tentang tindak pidana korupsi adalah: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mmeperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000. (satu miliar rupiah). Unsur-unsur pasal 2 ayat (1) adalah :
1) Melawan Hukum
2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
3) Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.
Penjelasan unsur-unsur tersebut adalah :

1) Melawan hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, baik secara formil ataupun dalam arti materiil, maksudnya yakni walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan social maka perbuatan tersebut, dapat dipidana.

2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi maksudnya adalah mendapatkan/menambah kekayaan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan cara melawan hukum.

3) Dapat merugikan keuangan /perekonomian negara maksudnya adalah karena perbuatan sii pelaku Keuangan/perekomian negara rugi atau berkurang kekayaannya yang harus dibuktikan dengan perhitungan ahli dalam hal ini akuntan negara atau yang ditunjuk yaitu BPKP atau BPK.

4. Penyalahgunaan kewenangan / kekuasaan hal ini diatur dalam pasal 3 Undang-undang No.20/2001, yang bunyinya sebagai berikut :
“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Rumusan Pasal 3 tersebut adalah :

Dengan maksud;
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi ;
Menyalahgunakan kewenangan atau kesempatan atau sarana yang ada padanaya karena jabatan atau kedudukan ;
Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara.

5. Pengembalian kerugian negara diatur sendiri pada Pasal 4 mengatur pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.

6. Pasal-Pasal yang mengatur para pegawai/pejabat negara yang melakukan tindak pidana korupsi adalah pada:
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000. (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2). Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000. (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000. (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadikan advokat untuk menghadiri siding pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2). Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000. (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang ;
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a ;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasiomal Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.150.000.000. (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.750.000.000. (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000. (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000. (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.100.000.000. (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000. (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar; atau
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (Limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah) Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah dan janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
a. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tyidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
b. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan , menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada Pengadilan untuk diadili.
e. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
f. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada Pegawai Negeri atau penyelenggara Negara yang lain atau kepada kas umum menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau , seolah-olah Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas Umum tersebut mempunyai utang kepoadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahak diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.


II.B. Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung, atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 23
Dalam Perkara Korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

II.C. PENYIDIK, PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
II.C.1. Penyidik
Pada saat ini “Penyidik” tindak pidana Korupsi dilakukan baik oleh Kejaksaan maupun oleh Penyidik Polri, bahkan sekarang telah ada lembaga baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik – penyidik tersebut mempunyai dasar hukum sendiri. Dasar hukum yang memberikan kewenangan penyidikan tindak pidana Korupsi kepada kejaksaan adalah Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“ Dalam waktu 2 (dua) tahun setelah Undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara berlaku ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu , sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi “
Penjelasan resmi Pasal 284 ayat (2) KUHAP, antara lain adalah sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-undang tertentu ialah ketentuan khusus acara pidana. ”Tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang No. 20 tahun 2001 memuat ketentuan Khusus acara pidana antara lain :
- Tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri/suami serta anak-anaknya dan harta benda korporasi yang diketahuinya ( Pasal 28);
- Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tak bersalah (Pasal 37)’
- Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir disidang pengadilan tanpa alas an yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diptuts tanpa kehadirannya (Pasal 38);
- Dan lain-lain.
Dasar hukum tentang kewenangan Penyidik Polri melakukan penyidikan tindak Pidana Korupsi, termuat dalam Undang- Undang No. 28 tahun 1997 adalah Pasal 14 ayat (1) huruf h, yang bunyinya sebagai berikut : “melakukan penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya “.
Penjelasan resmi atas Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut : “ Ketentuan Undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Penyelidikan dan Penyidikan sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing “.
Untuk Komisi Pemberantasan Korupsi telah diatur didalam Undang-Undang sendiri yaitu pada Undang Undang No. 20 tahun 2003.
II.C.2. Penyelidikan
Pengertian “ Penyelidikan” dimuat pada Pasal 1 butir 5 KUHAP, yang bunyinya sebagai berikut :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan sesuatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini “.
Berbeda dengan tindak pidana umum yang data awal diperoleh dari laporan atau pengaduan, tindak pidana Korupsi data awal diperoleh, antara lain dari :
- Menteri/Itjen/Bawasda/Bawasko
- BPKP ; BPK.
- Aparat Intelijen ;
- DPR, yang merupakan hasil Audit BPK.
- Masyarakat.
- Lembaga swadaya masyarakat
- Dll
Setelah adanya data awal maka diterbitkan “ Surat Perintah Penyelidikan “ untuk mengetahui ada atau tidaknya tindak pidana Korupsi yang terjadi, dan guna memperoleh “ Bukti permulaan yang cukup “ tetapi dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyelidikan, banyak orang berprasangka bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi, hal demikian merupakan sesuatu kekeliruan karena adakalanya tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup.
“ Diperoleh bukti permulaan yang cukup “ atau “ tidak” selain mendasari kepada pasal 184 KUHAP juga harus diputuskan setelah dilakukan gelar perkara. Jika “ tidak diperoleh bukti permulaan yang cukup “ maka penyelidikan tersebut berakhir. Sedang jika ditemukan bukti yang cukup, maka penyelidikan ditingkatkan ketahap Penyidikan, dan selanjutnya diterbitkan surat perintah Penyidikan.
Bukti permulaan yang cukup apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti terpenuhi, berdasarkan pasal 184 KUHAP ayat (1), Alat bukti yang sah ialah:
a) Keterangan saksi
b) Keterangan ahli
c) Surat
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa/tersangka
Pasal 185
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang Pengadilan.
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah berharap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri digunakansebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehinggadapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
(6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan :
a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c) Alasan yang mungkin dipegunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Pasal 186
Keterangan Ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan. Pasal 187
Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh Pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri disertai dengan alas an yang jelas dan tegas tentang keterangan itu ;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainnya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari :
a. Keterangan saksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 189
(1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
(2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar siding dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
II.C.3. Penyidikan
a. Pengertian Penyidikan dimuat dalam pasal 1 butir 2 KUHAP :
“ Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya “
Aparat Penyidik yang mengemban tugas dalam Surat Penyidikan, setelah menerima surat perintah tersebut segera membuat “ Rencana penyidikan (Rendik) seraya mempelajari/memahami hasil penyelidikan dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang sedang disidiknya sehingga akan dapat menentukan penyimpangan-penyimpangan yang telah terjadi dan bukti-bukti yang mendukung penyimpangan-penyimpangan tersebut, dengan demikian akan dapat ditemukan “ Modus Operandi “
Tidak semua perkara tindak pidana korupsi yang disidik dapat ditingkatkan ketahap pelimpahan ke Penuntut Umum. Jika ada salah satu unsur, tidak didukung alat bukti atau adanya alasan-alasan pemaaf berdasarkan Yurisprodensi, antara lain karena sifat melawan hukum tidak terbukti, atau ada kepentingan umum/negara yang lebih besar, pengembalian asset negara yang lebih difokuskan, maka perkara tersebut diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SPPP).
Jika perkara yang disidik didukung alat bukti maka penyidikan dilanjutkan ketahap pelimpahan. Umumnya, sebelum ditentukan suatu perkara ditingkatkan ketahap pelimpahan atau di SPPP akan dilakukan, pemaparan ( gelar perkara). Pada pemaparan tersebut akan jelas tampak hasil-hasil penyidikan. Sebaiknya sebelum gelar, telah disiapkan materi ringkas (Matrix) yang membantu para peserta pemaparan untuk dengan mudah memahami hasil-hasil penyidikan karena dengan matrix tersebut, dapat dilihat setiap unsur dan semua alat bukti yang ada dan yang telah dihimpun.
Penyidikan sesuai dengan Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Penyidikan kasus-kasus korupsi pada umumnya didahului dengan langkah/proses penyelidikan, dimana di dalam pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
1. Penyidik terlebih dahulu membuat laporan informasi yang sumbernya dari masyarakat (sumber harus dirahasiakan dan dilindungi).
2. Kemudian melengkapi administrasi berupa surat perintah penyelidikan dan surat perintah tugas. Apabila telah selesai melaksanakan tugas penyelidikan, penyidik membuat laporan pelaksanaan tugas, apa saja yang didapat dari lapangan dituangkan secara jelas terutama dua alat bukti yang sudah harus terpenuhi apabila kasusnya akan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Apabila tidak terpenuhi unsurnya dan tidak adanya alat bukti, maka kasus tersebut dapat dihentikan.
Didalam proses penyidikan korupsi kita masih memakai acara yang diatur dalam kitab undang hukum acara pidana (KUHAP). Selain itu adapula ketentuan – ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang no. 31 tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang No. 20 tahun 2001. ketentuan-ketentuan khusus tersebut telah dibahas dibagian lain. Dalam penanganan perkara korupsi unsur kerugian negara adalah salah satu unsur yang harus dipenuhi, oleh sebab itu untuk menentukan kerugian negara dibutuhkan keterangan / pendapat ahli dalam hal ini BPKP (Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
b. Langkah-langkah penyidikan yang digunakan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi :
1) Membuat Laporan Polisi, setelah sebelumnya melakukan proses penyelidikan dan dua alat bukti sudah terpenuhi, selanjutnya administrasi penyidikan dibuat yaitu berupa surat perintah tugas, surat perintah penyidikan dan kelengkapan administrasi lainnya.
2). Pemanggilan Saksi :
- Surat Panggilan harus jelas isinya, nama yang memanggil, pekerjaan, alamat, hari, tanggal, jam tempat penyidikan dan ditandatangani oleh Kepala selaku Penyidik.
- Pengiriman Surat Panggilan disertai dengan Surat Pengantar dan mencantumkan nama, pangkat Penyidik No Tlp yang dapat dihubungi.
- Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos tercatat.
- 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112 (1) KUHP).
3). Pemanggilan Tersangka :
- Pemanggilan Tersangka sudah harus mempunyai bukti permulaan yang cukup.
- Dua alat bukti sudah terpenuhi Psl 184, 185 KUHAP.
- Telah melakukan gelar perkara dihadapan Kepala Satuan masing-masing.
- Diantar sendiri oleh Penyidik / Penyidik Pembantu, kecuali yang berada diluar Jakarta bisa Via Pos tercatat.
- 3 (tiga) hari sebelumnya sudah diantar dan sudah sampai kepada alamat dimaksud (tenggang waktu yang wajar Psl 112 (1) KUHP).
4). Pemanggilan Ahli:
- Setiap perkara korupsi membutuhkan ahli untuk menghitung kerugian negara.
- Ahli yang ditunjuk untuk menghitung kerugian negara adalah BPKP dan BPK.
- Demikian juga ahli lainnya yaitu ahli Hukum, ahli Bangunan, perusahaan Apraisal, ahli tehnik, ahli perbankan dari Bank Indonesia dan ahli lainnya sesuai yang perkara yang sedang ditangani.
- Surat permohonan ahli ditujukan kepada kantor/badan yang akan kita mintai keterangannya sebagai ahli.
5). Pemeriksaan saksi/ahli/tersangka:
-Penyidik / Penyidik pembantu harus membuat konsep pertanyaan yang mencakup unsur-unsur subyektif dan obyektif pasal yang dituduhkan.
- Dalam pemeriksaan Penyidik / Penyidik Pembantu wajib mengumpulkan dan mencari alat bukti sesuai dengan psl 186 KUHAP.
- Penyidik / Penyidik Pembantu harus memahami Pasal 114, 115, 116, 117, 118, 119 dan 120 KUHAP tentang tata cara / proses pemeriksaan Saksi / Ahli / Tersangka.
6). Penyitaan
-Penyidik terlebih dahulu mendapat Surat izin dari Ketua Pengadilan negeri, kecuali dalam keadaan perlu dan sangat mendesak, harus segera bertindak dan berkewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri guna memperoleh persetujuan.
- Membuat Berita Acara Penyitaan, dibacakan, diberi tanggal, ditandatangani Penyidik, orang yang bersangkutan / keluarga / kepala desa lingkungan dan 2 (dua) orang saksi dan turunan berita acara disampaikan kepada atasan Penyidik , keluarga yang barangnya disitadan kepala desa (pasal 129 ayat 1, 2, 3, 4).
- Memahami pasal penyitaan yang terdapat didalam KUHAP pasal 1 butir 16, pasal 38,40,41,42,43, 128,129,130,44,45.
7). Penggeledahan
- Terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal kepada Tersangka atau Keluarga (famili).
- Harus disaksikan oleh 2 (dua) orang Saksi dalam hal tersangka penghuni setuju, atau oleh Kepala Desa, Ketua Lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi dalam hal tersangka / penghuni menolak atau tidak hadir (pasal 33 ayat 4 dan 4)
- Memahami pasal pasal penggeledahan ( pasal 33, 34, 125, 126, 127)
- Membuat Berita Acara tentang jalannya hasil penggeledahan dan turunanya disampaikan kepada pemilik / penghuni.
- Untuk penggeledahan badan disesuaikan, untuk wanita, polwan yang melakukan.
- Dilakukan secara arif dan bijaksana.
8). Penangkapan - Perintah dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (pasal 17 KUHAP).
- Memperlihatkan identitas, menunjukkan Surat Perintah Tugas, tidak arogan.
- Tidak adanya unsur kekerasan.
- Disaksikan oleh Kepala Lingkungan RT / RW.
- Tidak menggunakan media cetak dan elektronika dalam proses penangkapan.
- Memberikan kepada Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penagkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat Ia diperiksa, tembusannya diberikan kepada Keluarga.
- Memahami pasal 16, 17, 18 dan 19 KUHAP.
9). Penahanan
- Menjelaskan kepada Tersangka bahwa Tindak Pidana yang telah dilakukan olehnya telah cukup bukti dan memperhatikan pasal 21 ayat 4 KUHP.
- Menunjukan Surat Perintah Penahanan kepada Tersangka.
- Membuat Berita Acara Penahanan.
- Penyidik / Penyidik Pembantu tidak dibenarkan menakut-nakuti tersangka yang akan ditahan.
- Mengirim surat kepada keluarga tersangka dan dibuatkan tanda terima dalam wakti 1 X 24 Jam.
- Sebelum memasukkan keruang sel tahanan agar dicek kesehatan, difoto dan diambil sidik jari tersangka.
- Apabila Tersangka tidak mau menandatangani surat perintah penahanan penyidik / penyidik pembantu membuat Berita Acara penolakan ditandatangani oleh Saksi.
- Dilengkapi dengan Surat Perintah Penahanan.
- Dicatat jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan surat pemberitahuan penahanan kepada keluarga tersangka.
- Perlu diingat jangka waktu penahanan terbatas (pasal 29 KUHAP)
- Pemeriksaan tersangka harus mulai dilakukan dalam satu hari setelah perintah penahanan itu dijalankan (psl 122 KUHAP).
10). Penyelesaian Berkas Perkara
- Penyidik, Penyidik Pembantu wajib memberitahukan hasil perkembangan penyidikan kepada Pelapor (SP2HP) setelah 20 hari penanganan perkara.
- Penyidik / penyidik Pembantu harus berani mengambil sikap menentukan perkara tersebut. Apabila cukup bukti segera limpahkan, sedangkan tidak cukup bukti, demi hukum bukan tindakan pidana segera hentikan.
- SP3 diberikan tembusanya kepada Pelapor dan Tersangka. - Penyidik / Penyidik Pembantu Melakukan Gelar Perkara sebelum menerbitkan SP3.
- Apabila Perlu Pelapor / penasehat hukumnya mengikuti gelar perkara dimaksud.
II.C.4. Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi
1. Pemerasan pajak
· Pemeriksaan pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kekurangan tersebut selanjutnya dianggap tidak ada atau berkurang jumlahnya. Sebagai imbalan, wajib pajak harus membayarkan sebagian dari kekurangan tersebut ke kantong pribadi pemeriksa pajak.
2. Pembayaran fiktif
· Pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
· Pembayaran penuh untuk pekerjaan yang tidak selesai
· Pembayaran untuk pekerjaan atau pembelian yang tidak dilakukan
· Mengisi sendiri bukti pendukung pengeluaran
3. Manipulasi perjalanan dinas
· Pengeluaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
· Pembayaran penuh untuk pekerjaan yang tidak selesai
· Pembayaran untuk pekerjaan atau pembelian yang tidak dilakukan
· Mengisi sendiri bukti pendukung pengeluaran
4. Pelelangan
· Calon pemenang sudah ditentukan diawal (kolusi dan nepotisme)
· Tidak meminta uang jaminan bagi peserta lelang
· Memberitahukan plafon dana yang tersedia
· Menciptakan peserta tender fiktif
5. Manipulasi tanah
· Pimpinan proyek dan konco-konconya membeli tanah yang akan dibebaskan dan menjualnya dengan harga tinggi
· Meninggikan harga pembebasan tanah untuk pembangunan
· Pimpinan proyek dan aparat Pemda membayar ganti rugi atas tanah negara yang seharusnya tidak perlu ganti rugi.
6. Manipulasi kredit
· Memanipulasi daftar calon nasabah dan uangnya digunakan untuk kepentingan pribadi
· Menggunakan sebagian atau seluruh dana pengembalian kredit nasabah untuk kepentingan pribadi
· Menggunakan data-data palsu dan agunan kredit milik orang lain
7. Harga kontrak terlalu tinggi
· Pengadaan barang dengan penunjukan langsung (tidak melalui mekanisme tender)
· Membuat Rencana Anggaran Belanja dengan harga satuan yang lebih tinggi (mark up), memperpanjang jarak angkut
· Mengubah status tanah kebun, sawah menjadi tanah pemukiman
· Jasa konsultan dibuat seolah-olah berkali-kali, padahal hanya satu kali
· Panitia lelang menetapkan pemenang dari tawaran yang paling rendah tanpa membandingkan dengan owner estimate.
8. Kelebihan pembayaran
· Volume pekerjaan yang dibayar, melebihi dari yang seharusnya.
· Jumlah pengadaan barang lebih kecil dari jumlah yan dibayar.
· Harga yang dibayar melebihi harga wajar.
9. Ketekoran kas
· Meminjam uang proyek untuk kepentingan pribadi namun dibuat seolah-olah untuk kepentingan dinas.
· Mengambil uang proyek dengan memalsukan tanda tangan
· Pemegang kas membuat pembukuan ganda dan menunda pembukuan penerimaan.
· Pengeluaran kas tanpa seizing pemberi otorisasi
10. Penggunaan dana tidak sesuai ketentuan
· Dana dipinjamkan di luar kepentingan dinas
· Asset yang ada disewakan kepada orang lain sementara uang sewa masuk ke kantong pribadi, sementara biaya operasional untuk asset tersebut tetap diambil dari anggaran rutin
11. Uang komisi
· Membuat komitmen lisan untuk menerima komisi sekian persen dari dana yang ditempatkan di bank atau badan keuangan lain.
· Komisi dari rekanan yang menerima proyek
12. Penggelapan uang negara
· Bunga uang proyek didepositokan dan tidak disetorkan ke kas negara
· Penggelapan hasil keuntungan kerja sama PUSKUD, penggelapan hasil penerimaan piutang.
· Subsidi dalam bentuk uang diubah dalam bentuk barang di mana jenis dan harganya ditemukan secara.....
13. Pemalsuan dokumen
· Menambah/mengurangi data dalam tanda bukti pengeluaran/penerimaan
· Menjual illegal BBM kepada pihak III dan ditutupi dengan pemalsuan jumlah pemakaian BBM
· Meminta rekanan untuk menyiapkan kwitansi kososng yg sudah dicap dan ditandatangani
· Putusan kasasi MA dipalsukan
14. Pungutan liar
· Meminta jatah dari rekanan yang dipilih
· Retribusi tanpa surat resmi, dana tidak masuk kas negara melainkan masuk kantong pribadi
· Ada uang pelicin untuk setiap pengurusan ijin
15. Penundaan pembayaran kepada rekanan
· Uang untuk membayar tagihan rekanan tidak langsung dibayarkan, tapi dsimpan dulu di rekening pribadi beberapa bulan untuk menerima bunga depositonya.
16. Manipulasi proyek
· Pengiriman barang/pendirian bangunan tidak sesuai spesifikasi teknis.
· Jual beli proyek.
· Mark up harga proyek.

II.C.5. PERATURAN PERUNDANGAN - UNDANGAN YANG BERHUBUNGAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Undang-Undang tentang penyuapan No. 11 tahun 1980.
Undang-Undang tentang Perbankan No. 10 tahun 1998
Undang-Undang Money Laundering No. 15 tahun 2002
Undang-Undang Perpajakan No. 9, 10 dan 11 tahun 2000
Undang-Undang Kepabeanan dan Cukai No.10 tahun 1995
Undang-Undang tentang Perusahaan Terbatas No. 1 tahun 1995
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan DPR, MPR.
Undang-Undang Otonomi Daerah No.22 Tahun 1999.
Kitab Undang Hukum Pidana.
Kepres No.80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 1981.
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, No.20 tahun 2003.
Undang-Undang tentang penyelenggaraan pemerintah yang bersih bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
KEPPRES No.80 tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.


II.C.6. KERJASAMA LEMBAGA PEMERINTAH DAN NON PEMERINTAH
Dalam penanganan tindak pidana korupsi tidak mungkin kita bekerja sendiri untuk mengungkap/menyidik perkara tersebut, karena dibutuhkan keterangan atau bantuan dari lembaga-lembaga yang memang ditunjuk oleh peraturan seperti BPKP dan BPK yang ditugaskan sebagai akuntan negara untung menghitung kerugian negara sebagai salah satu unsur dalam pembuktian perkara korupsi. Namun adapula lembaga lain yang memang karena keahlian dapat membantu kita mengungkap perkara korupsi seperti Fakultas ilmu hukum Universitas Indonesia, Indonesia Corruption Watch dan lembaga-lembaga lainnya yang saya sebutkan dibawah:
Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pemeriksa dan Keuangan Pembangunan Departemen Dalam Negeri.
Departemen Kehakiman dan Ham (Direktorat Jenderal Perundang-undangan).
Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam dan Luar Negeri)
Departemen Keuangan (Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai).
Bank Indonesia Inspektorat Jenderal setiap Departemen Universitas Indonesia (Fakultas Ilmu Hukum, Lembaga Pranata UI, Fakultas Ilmu Ekonomi).
Badan Pengawas Daerah setiap Profinsi
Keahlian Tehnik (Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia)
Lembaga Management Kelistrikan (kasus korupsi alat kelistrikan yang menyalahi spesifikasi)
Indonesian Corruption Watch
Masyarakat Transparansi Indonesia
Rekan-rekan Pers (Media cetak dan elektronik).
dan lembaga lainnya.


III. KESIMPULAN
Penanganan kasus tindak pidana korupsi tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, karena selain kita mendasari kepada ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam KUHAP ada ketentuan lain yang di atur di dalam Undang-Undang Korupsi, begitu juga di dalam pembuktiannya sangat tergantung kepada ahli untuk menghitung kerugian negaranya karena kerugian negara adalah salah satu unsure dalam pembuktian. Di dalam kasus korupsi juga dipelukan waktu yang lebih lama dalam proses penyidikan dibandingkan penyidikan tindak pidana umum.
Perkara Korupsi juga tidak menjadi gugur karena adanya pengembalian asset negara, seperti yang di atur dalam Pasal 4 Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi. Dalam kasus korupsi juga selalu bersentuhan kepentingan lain yaitu berupa kepentingan politik, ekonomi , social dan budaya. Oleh sebab itu tingkat ketelitian, kesabaran dan kepandaian dalam mengungkap adalah sangat penting. Procedural dan professional dalam penyidikan harus dilaksanakan, karena masyarakat umum selalu melihat dan memantau hasil kerja kita.
IV. PENUTUP
Didalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, tidak semata-mata penindakan hukum saja, melainkan yang terlebih penting adalah penyelamatan asset-aset negara yang telah hilang untuk diselamatkan. Didalam penanganan korupsi juga selalu bersentuhan dengan bidang lain, seperti politik, social, budaya dan hankam. Oleh sebab itu dalam penanganannya harus lebih hati-hati, prosedural, dan professional. Semoga sukses selalu untuk kita dalam mengungkap dan meberantas tindak pidana korupsi ini.
Demikian panduan penanganan kasus tindak pidana korupsi ini selesai dibuat dan dapat digunakan untuk menjadi pedoman, petunjuk bagi penyidik reserse criminal yang melaksanakan penyelidikan dan penyidikan dugaan tindak pidana korupsi juga diharapkan meningkatkan kerja agar lebih professional dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

Minggu, Februari 24, 2008

KEJAKSAAN DAN POLRI SALING KLAIM SIDIK KASUS KORUPSI
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri saling mengklaim sebagai pihak yang lebih berkewenangan menyidik kasus korupsi. Kejaksaan sendiri mengklaim lebih banyak melanjutkan kasus korupsi dari penyidikan ke penuntutan ketimbang Polri dan KPK.
Polri menilai lebih profesional menyidik dengan menyarankan Kejaksaan agar lebih fokus ke penuntutan. “Pada tahun 2007, kejaksaan 564 kasus, kepolisian 83, dan KPK 27,” kata Jamintel Kejagung Wisnu Subroto dalam sidang uji materil UU Kejaksaan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (12/2).
Uji materiil Pasal 30 Ayat 1 huruf d UU 16/2004 tentang Kejaksaan ini diajukan oleh A Nuraini dan suaminya Mayjen TNI Purn Subarda Midjaja.Subarda merasa dirugikan karena Mabes Polri sudah mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) kasus dugaan penggelapan dana Asabri yang belakangan disidik kejaksaan. Sebaliknya, Jamintel Wisnu mempertanyakan mengapa hanya wewenang penyidikan kejaksaan saja yang dipermasalahkan. Padahal, menurutnya, KPK juga mempunyai kewenangan serupa. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Untung Udji Santoso menerangkan, kasus yang dikenakan kepada Subarda bukan kasus yang sama disidik Polri.
Di lain pihak, mantan Kapolri Jenderal Pol Purn Awaloedin Djamin menilai Polri lebih profesional menyidik perkara korupsi. Ia mengatakan, Jaksa dan Hakim punya spesialisasi sendiri dan tak perlu berfungsi seperti Polri. “Polisi profesional dalam penyidikan. Jaksa profesional dalam penuntutan. Hakim profesional dalam pengadilan,” kata Awaloedin yang berpandangan bahwa sebuah institusi akan elok jika menjalankan 1 fungsi saja. --- (dikutip dari media Sinar Harapan Rabu 13-Pebruari 2008 )
Kami tunggu pendapat anda…...

Jumat, Februari 22, 2008

TINDAK PIDANA KORUPSI

Tindak Pidana Korupsi merupakan “SERIOUSNESS CRIME” dan juga sebagai “EXTRA ORDINARY CRIME”

” Menjadi tantangan bagi penyidik untuk segera mencari solusi dalam mengatasi kasus korupsi yang masih marak dengan tetap memiliki komitmen yang kuat untuk terus fighting crime. Sehubungan hal tersebut, saya selaku Kabareskrim Polri menekankan agar penyidik tipikor Polri harus segera melakukan konsolidasi, pembenahan serta akselerasi dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi. Baik menyangkut metode,taktik dan tehnis penyidikannya,maupun peningkatan pemahaman aspek yuridis yang terkait dengan kasus korupsi. Dengan tidak mengabaikan karakteristik tindak pidana korupsi, antara lain penyalahgunaan wewenang dan jabatan (penggelapan, suap, gratifikasi dan sebagainya), semua itu harus dipahami oleh Penyidik.
( Sambutan Kabareskrim Polri Komisaris Jendral Polisi Drs. H. BAMBANG HENDARSO DANURI, MM Pada Acara Pembukaan Rakor Kasat Tipikor Polda Se Indonesia Jakarta, Juni 2007 )

Korupsi di Indonesia sudah sedemikian menggurita. Ia merambah hampir semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Hampir dapat dipastikan, tidak ada satu ranah pun yang tidak tersentuh oleh korupsi, baik itu ranah politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama.
Dari segi efek, kerusakan yang ditimbulkan olehnya juga sedemikian nyata. Mulai dari kebocoran anggaran negara (sekaligus kerugian) dalam jumlah yang besar sampai kepada kemiskinan yang menjerat sebagian besar warga negara. Kerusakan-kerusakan semacam itu, sedikit banyak adalah dampak (langsung ataupun tidak langsung) dari korupsi. Alhasil, korupsi adalah the root of evil.

Dengan mengasumsikan bahwa kejahatan korupsi di Indonesia sangat eskalatif dan sistemik serta akibatnya massif, maka setiap upaya perlawanan dan shock theraphy terhadap korupsi oleh gerakan anti korupsi haruslah terstruktur dan sistematis.

Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai “seriousness crime” dan bahkan disebut juga sebagai “extra ordinary crime” sehingga juga memerlukan kebijakan (policy) dan langkah-langkah extra ordinary untuk memerangi tindak pidana korupsi tersebut.

Salah satu diantara sekian cara mensistematisasi gerakan anti korupsi adalah dengan mengidentifikasi peran dan posisi yang bisa dimainkan oleh masing-masing elemen gerakan anti korupsi secara tepat. Melalui cara seperti ini, setiap elemen gerakan anti korupsi akan bisa memberikan kontribusi pemberantasan korupsi secara optimal, dengan tentu saja, tidak mengesampingkan sinergitas dan kolaborasi kerja antar elemen gerakan anti korupsi.

Kepolisian Daerah Jawa Timur dalam masa kepemimpinan Bapak Irjen Pol Drs Herman S Sumawiredja dalam rangka tranparansi proses penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang proses penyidikannya dilakukan oleh Penyidik / Penyidik Pembantu Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Jajarannya telah membuat nota kesepahaman dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tentang kerja sama dalam rangka pemantauan penyidikan tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kepolisian Daerah Jawa Timur yang salah satu substansinnya adalah Kepolisian Daerah Jawa Timur CQ Direktorat Reserse Kriminal memberikan informasi dan data serta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) tentang pelaksanaan penyidikan tindak pidana korupsi yang proses pemyidikannya dilakukan oleh penyidik / penyidik pembantu kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang telah membuat nota kesepahaman dengan Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Dengan adanya nota kesepahaman tersebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) khususnya yang aktif dan memiliki komitmen terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, yang selama ini terkesan ”gontok-gontok’an” dengan Penyidik bisa menjalin hubungan kerjasama yang baik sesuai dengan peran masing - masing pihak dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.

Demikian pendapat saya,ditunggu komentar dan saran pendapatnya,terima kasih.

Selasa, Februari 19, 2008

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG KEUANGAN NEGARA DAN KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

DEFINISI KEUANGAN NEGARA KEMBALI DIPERDEBATKAN
Beberapa ahli berpendapat keuangan negara dalam BUMN/BUMD adalah sebatas saham di perusahan itu. UU Korupsi hanya bisa diterapkan dalam penjualan saham secara melawan hukum. Namun negara tetap bisa melakukan upaya hukum perdata maupun pidana berdasarkan undang-undang selainnya.
Ada beberapa pakar hukum yang menyampaikan pendangannya tentang pengertian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi bahwa masih diperlukan kejelasan definisi secara yuridis dalam menentukan pengertian keuangan negara.

Menurut beberapa pakar hukum, pengertian keuangan negara masih tersebar dalam beberapa undang-undang. Diantaranya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 49 Prp. Tahun 1960, serta munculnya pasal piutang perusahaan negara dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Pasal 1 angka 1 UU No.17/2003 mendefinisikan keuangan negara sebagai semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Namun menurutnya, definisi keuangan negara tersebut belum jelas

Terhadap perbedaan pendapat yang dimunculkan oleh pakar hukum tersebut mana yang harus diikuti oleh penyidik….………?

Sebagai contoh Apabila terjadi kerugian pada BUMN dan Persero, penegak hukum dan aparat negara menggunakan ketentuan pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara dan penjelasan umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Esensinya, penyertaan negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara yang menurut sifatnya berada dalam ranah hukum publik. Karenanya, apabila terjadi kerugian negara maka ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dapat diberlakukan pada pengurus BUMN.

Sementara pihak yang menginginkan penyempitan definisi keuangan negara terutama bagi BUMN, menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Ketika kekayaan negara telah dipisahkan maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk ke dalam ranah hukum publik namun masuk ranah hukum privat.

Pendapat senada disampaikan Direktur Informasi dan Akuntansi Ditjen Perbendaharaan Departemen Keuangan, Hekinus Manao. Cakupan keuangan negara menurut beliau sesuai Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara meliputi Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Pemahaman kedudukan keuangan negara berdasarkan ketentuan itu menurutnya terbatas pada kekayaan yang dipisahkan, yaitu sebesar modal yang disetor atau perubahannya. “Kalau pemerintah memegang saham 50% maka penyertaannya ya 50%, jangan ditafsirkan aset BUMN identik dengan aset negara, “jelasnya.

Hekinus menambahkan pemahaman yang keliru terjadi saat keuangan negara ditafsirkan sebagai seluruh aset BUMN/BUMD merupakan aset pemerintah. Jika demikian berarti seluruh piutang maupun utang BUMN/BUMD juga piutang pemerintah dan mestinya seluruh utang utang BUMN/D adalah utang pemerintah. Padahal , ketika suatu bagian kekayaan negara masuk pada BUMN/BUMD maka bagian kekayaan pemerintah yang disertakan di dalamnya tunduk pada ketentuan rezim korporasi.

Dengan demikian, masih menurut Hekinus, aturan tentang pertanggungjawaban kerugian negara dalam konteks BUMN/BUMD mengacu pada UU No.1 Tahun 1995 Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

Menanggapai hal itu Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan dan kepabeanan, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan kerancuan pengertian keuangan negara berdampak pada dunia usaha. Ketidakpastian hukum muncul sehingga stakeholders BUMN tidak berani mengambil keputusan strategis. Hariyadi mencontohkan kinerja perbankan yang menurun serta kasus korupsi tender KPU yang menyeret pengusaha membuat pihak swasta takut bekerjasama dengan pemerintah.

Hariyadi menambahkan kerugian dalam perusahaan kerap terjadi dan tidak selamanya akibat tindakan korupsi. Kerugian bisa terjadi karena mismanajemen, peningkatan biaya operasional atau penurunan penjualan. Selain itu, peranan persaingan tidak sehat serta kondisi krisis ekonomi makro seperti krisis ekonomi, moneter, turut berperan dalam kerugian perusahaan.

Maka tutur Hariyadi kerugian tersebut tidak dapat dikatakan sebagai korupsi, “Sehingga harus dibedakan antara salah urus dengan mencuri,“ papar Hariyadi.

Erman Radjagukguk Guru Besar Fakultas Hukum UI menegaskan kekayaan negara menyangkut BUMN berbentuk Persero bukanlah harta kekayaan BUMN secara keseluruhan. Melainkan kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN yang berbentuk saham yang dimiliki oleh negara.

Erman menambahkan tindak pidana korupsi, baru dapat dikenakan pada orang yang menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum sesuai Pasal 8 UU No.20 Tahun 2001 jo Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Erman menilai ketentuan PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah sebuah kesalahan. Pasal 19 dan 20 menyebutkan tata cara dan penghapusan secara bersyarat maupun mutlak piutang perusahaan negara/daerah diserahkan pada PUPN dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dengan begitu tidak ada pemisahan kekayaan BUMN Persero dengan kekayaan negara sebagai pemegang saham.

Ketentuan Undang-undang No.49 tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mendefinisikan piutang negara atau hutang kepada negara sebagai jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau badan-badan baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara. Menurut Hekinus, aturan ini sudah tidak sesuai dengan dengan perkembangan dan tidak seharusnya digunakan lagi.

Aturan ini diterbitkan saat pemerintah RI mengambil alih perusahaan-perusahaan eks Belanda, sementara kedudukan perusahaan negara waktu itu berbeda. Karenanya, lanjutnya, seharusnya digunakan penafsiran lex posteriori derogat lex priori (hukum yang berlaku kemudian menghapuskan hukum yang berlaku terdahulu).

Erman emanmbahkan upaya hukum negara jika terjadi kerugian harus sesuai dengan mekanisme UU No. 1/1995 dan UU No. 19/2003. Erman khususnya menunjuk Pasal 54 ayat(2) UU No. 1/1995 dimana pemegang saham dapat menggugat direksi atau komisaris apabila keputusan mereka dianggap merugikan pemegang saham. Tuntutan pidana juga dapat dikenakan pada direksi BUMN/BUMND yang melakukan delik penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-undang Perbankan atau lainnya yang memuat ketentuan pidana.


Tulisan ini saya ambil dari berbagai sumber dan saya sampaikan kembali dengan harapan saya selaku penyidik tindak pidana korupsi mendapat masukan dan saran untuk proses penyidikan yang saya laksanakan

SEBUAH CATATAN RINGAN TENTANG KORUPSI

ARTIKEL TENTANG KORUPSI.
Oleh : Hadi Utomo
Pengertian atau Definisi Korupsi
Dari segi semantik, "korupsi" berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah "korupsi" juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian "korupsi" adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Masih banyak lagi pengertian-pengertian lain tentang korupsi baik menurut pakar atau lembaga yang kompeten. Untuk pembahasan dalam situs MTI ini, pengertian "korupsi" lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Sebab-sebab Korupsi
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.
Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :
a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),
b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.
Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :
a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;
b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;
c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;
d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi
Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain :
1. Aspek Individu Pelaku
a. Sifat tamak manusia
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
b. Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
e. Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
f. Malas atau tidak mau kerja
Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan
Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.
2. Aspek Organisasi
a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.
e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.
3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.
c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Ciri-ciri Korupsi
Korupsi di manapun dan kapanpun akan selalu memiliki ciri khas. Ciri tersebut bisa bermacam-macam, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Melibatkan lebih dari satu orang,
Korupsi tidak hanya berlaku di kalangan pegawai negeri atau anggota birokrasi negara, korupsi juga terjadi di organisasi usaha swasta,
Korupsi dapat mengambil bentuk menerima sogok, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar, baik dalam bentuk uang tunai atau benda atau pun wanita,
Umumnya serba rahasia, kecuali sudah membudaya,
Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik yang tidak selalu berupa uang,
Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum,
Setiap perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan masyarakat,
Di bidang swasta, korupsi dapat berbentuk menerima pembayaran uang dan sebagainya, untuk membuka rahasia perusahaan tempat seseorang bekerja, mengambil komisi yang seharusnya hak perusahaan.
Akibat Korupsi
Korupsi selalu membawa konsekuensi. Konsekuensi negatif dari korupsi sistemik terhadap proses demokratisasi dan pembangunan yang berkelanjutan adalah:
Korupsi mendelegetimasi proses demokrasi dengan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui politik uang.
Korupsi mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, membuat tiadanya akuntabilitas publik, dan menafikan the rule of law. Hukum dan birokrasi hanya melayani kepada kekuasaaan dan pemilik modal.
Korupsi meniadakan sistim promosi dan hukuman yang berdasarkan kinerja karena hubungan patron-client dan nepotisme.
Korupsi mengakibatkan proyek-proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga mengganggu pembangunan yang berkelanjutan.
Korupsi mengakibatkan kolapsnya sistem ekonomi karena produk yang tidak kompetitif dan penumpukan beban hutang luar negeri.
Korupsi yang sistimatik menyebabkan:
Biaya ekonomi tinggi oleh penyimpangan insentif;
Biaya politik oleh penjarahan atau penggangsiran terhadap suatu lembaga publik; dan
Biaya sosial oleh pembagian kesejahteraan dan pembagian kekuasaan yang tidak semestinya.
Modus Korupsi
Modus korupsi adalah cara-cara bagaimana korupsi itu dilakukan. Banyak modus-modus dalam korupsi. Di bawah ini hanyalah sekedar contoh bagaimana modus korupsi itu dilakukan :
Pemerasan Pajak
Pemeriksa pajak yang memeriksa wajib pajak menemukan kesalahan perhitungan pajak yang mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak. Kesalahan-kesalahan tersebut bisa karena kesengajaan wajib pajak dan bisa juga bukan karena kesengajaan. Kekurangan tersebut dianggap tidak ada dan imbalannya wajib pajak harus membayarkan sebagian kekurangan tersebut masuk ke kantong pemeriksa pajak.
Manipulasi Tanah
Berbagai cara dilakukan untuk memanipulasi status kepemilikan tanah termasuk, memanipulasi tanah negara menjadi milik perorangan/badan, merendahkan pembebasan tanah dan meninggikan pertanggungjawaban, membebaskan terlebih dahulu tanah yang akan kena proyek dengan harga murah.
Jalur Cepat Pembuatan KTP
Dalam Pembuatan KTP dikenal 'jalur biasa' dan 'jalur cepat'. Jalur biasa adalah jalur prosedural biasa, yang mungkin waktunya lebih lama tapi biayanya lebih murah. Sedangkan 'jalur cepat' adalah proses pembuatanya lebih capat dan harganya lebih mahal.
SIM Jalur Cepat
Dalam proses pembuatan SIM secara resmi, diberlakukan ujian/tes tertulis dan praktek yang dianggap oleh sebagian warga, terutama sopir akan mempersulit pembuatan SIM Untuk mempercepat proses itu mereka membayar lebih besar, asalkan tidak harus mengikuti ujian. Biaya tidak resmi pengurusan SIM biasanya langsung ditetapkan oleh petugas. Biasanya yang terlibat dalam praktek ini adalah warga yang mengurus SIM dan oknum petugas yang menangani kepengurusan SIM.
Markup Budget/Anggaran
Biasanya terjadi dalam proyek dengan cara menggelembungkan besarnya dana proyek dengan cara memasukkan pos-pos pembelian yang sifatnya fiktif. Misalnya dalam anggaran dimasukkan pembelian komputer tetapi pada prakteknya tidak ada komputer yang dibeli atau kalau komputer dibeli harganya lebih murah.
Proses Tender
Dalam proses tender pengerjaan tender seperti perbaikan jalan atau pembangunan jembatan seringkali terjadi penyelewengan. Pihak yanag sebenarnya memenuhi persyaratan tender, terkadang tidak memenangkan tender karena telah dimenangkan oleh pihak yang mampu 'main belakang' dengan membayar lebih mahal, walaupun tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini telah terjadi penyogokan kepada pemberi tender oleh peserta tender yang sebenarnya tidak qualified
Penyelewengan dalam Penyelesaian Perkara
Korupsi terjadi tidak selalu dalam bentuk uang, tetapi mengubah (menafsirkan secara sepihak) pasal-pasal yang ada untuk meringankan hukuman kepada pihak yang memberi uang kepada penegak hukum. Praktek ini melibatkan terdakwa/tersangka, penegak hukum (hakim/jaksa) dan pengacara.
Istilah-istilah Umum dalam Kegiatan Korupsi
Uang Tip: Sama dengan 'budaya amplop' yakni memberikan uang ekstra kepada seseorang karena jasanya/pelayanannya. Istilah ini muncul karena pengaruh budaya Barat yakni pemberian uang ekstra kepada pelayan di restoran atau hotel.
Angpao: Pada awalnya muncul untuk menggambarkan kebiasaan yang dilakukan oleh etnis Cina yang memberikan uang dalam amplop kepada penyelenggara pesta. Dalam perkembangan selanjutnya, hingga saat ini istilah ini digunakan untuk menggambarkan pemberian uang kepada petugas ketika mengurus sesuatu di mana pemberian ini sifatnya tidak resmi atau tidak ada dalam peraturan
Uang Administrasi: Pemberian uang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus agar penyelesaiannya cepat selesai.
Uang Diam: Pemberian dana kepada pihak pemeriksa agar kekurangan pihak yang diperiksa tidak ditindaklanjuti. Uang diam biasanya diberikan kepada anggota DPRD ketika memeriksa pertanggung jawaban walikota/gubernur agar pertanggung jawabanya lolos.
Uang Bensin: Uang yang diberikan sebagai balas jasa atas bantuan yang diberikan oleh seseorang. Istilah ini menggambarkan ketika seseorang yang akrab satu sama lain, seperti antara temen satu dengan yang lain. Misalnya A minta bantuan B untuk membeli sesuatu, si B biasanya melontarkan pernyataan, uang bensinya mana ?
Uang Pelicin: Menunjuk pada pemberian sejumlah dana (uang) untuk memperlancar (mempermudah) pengurusan perkara atau surat penting.
Uang Ketok: Uang yang digunakan untuk mempengaruhi keputusan agar berpihak kepada pemberi uang. Istilah ini biasanya ditujukan kepada hakim dan anggota legislatif yang memutuskan perkara atau menyetujui/mengesahkan anggaran usulan eksekutif, dilakukan secara tidak transparan.
Uang Kopi: Uang tidak resmi yang diminta oleh aparat pemerintah atau kalangan swasta. Permintaan ini sifatnya individual dan berlaku di masyarakat umum.
Uang Pangkal: Uang yang diminta sebelum melaksanakan suatu pekerjaan/kegiatan agar pekerjaan tersebut lancar
Uang Rokok: Pemberian uang yang tidak resmi kepada aparat dalam proses pengurusan surat-surat penting atau penyelesaian perkara/kasus penyelesaianya cepat.
Uang Damai: Digunakan ketika menghindari sanksi formal dan lebih memberikan sesuatu biasanya berupa uang/materi_ sebagai ganti rugi sanksi formal.
Uang di Bawah Meja: Pemberian uang tidak resmi kepada petugas ketika mengurus/membuat surat penting agar prosesnya cepat
Tahu Sama Tahu: Digunakan di kalangan bisnis atau birokrat ketika meminta bagian/sejumlah uang. Maksud antara yang meminta dan yang memberi uang sama-sama mengerti dan hal tersebut tidak perlu diucapkan.
Uang Lelah: Menunjuk pada pemberian uang secara tidak resmi ketika melakukan suatu kegiatan. Uang lelah ini bisanya diminta oleh orang yang diminta bantuanya untuk membantu orang lain. Istilah ini kemudian sering digunakan oleh birokrat ketika melayani masyarakat untuk mendapatkan uang lebih
Istilah-istilah Korupsi di Daerah
Medan
Hepeng parkopi (uang kopi): Uang tambahan yang diberikan ketika melakukan suatu urusan, misalnya berkaitan dengan urusan administrasi
Hepeng par sigaret (uang rokok): Uang yang dibayarkan oleh seseorang untuk mempercepat penyelesaian suatu urusan. Istilah ini muncul ketika warga harus berurusan dengan aparat, terutama ketika mengurus administrasi, seperti surat izin.
Hepeng pataruon (uang antar): Uang yang diberikan kepada seseorang untuk meneruskan urusan kepada seseorang. Misalnya uang diberikan oleh warga kepada pegawai PDAM yang melakukan pencatatan meteran dan menagih pembayaranya. Warga bersedia melakukan itu karena merasa sudah ditolong sehingga tidak perlu bersusah payah membayar ke loket.
Uang pago-pago: Uang yang diberikan suatu proyek atau kegiatan yang dibagi-bagikan. Misalnya, ketika mendapatkan proyek, kita harus memberikan uang pago-pago kepada pemberi proyek.
Silua: Menggambarkan kebiasaan untuk membawa oleh-oleh ketika berkunjung ke rumah seseorang. Kebiasaan ini kemudian berkembang tidak hanya dilakukan ketika berkunjung ke rumah kerabat, tetapi juga dilakukan oleh bawahan ketika berkunjung ke rumah atasan agar memperoleh kenaikan jabatan.
Manulangi: Membuat suatu acara dengan memberi makan kepada seseorang yang dihormati.
Hepeng hamuliateon: Uang yang diberikan kepada seseoarang karena telah membantu mempercepat penyelesaian suatu urusan, misalnya dalam pengurusan administrasi.
Hapeng siram: Uang yang diberikan untuk menyogok seseorang agar urusannya dipermudah.
Bandung
Biong: Makelar tanah yang menjual tanah dengan harga tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang besar meskipun itu tanah negara, dengan cara mempengaruhi masyarakat untuk menyerobot tanah negara dan dijual oleh makelar tersebut ke tangan orang lain dengan harga tinggi.
CNN (can nulis-nulis acan): Artinya tidak pernah nulis. Merupakan plesetan dari nama stasion televisi Amerika. Digunakan untuk menggambarkan wartawan yang suka meminta uang dari para pejabat yang korup dengan mengancam jika tidakdiberikan maka kedok pejabat tersebut akan dibuka.
Ceceremed: Artinya panjang tangan, suka mengambil yang bukan haknya. Digunakan untuk menggambarkan orang yang mengambil barang milik kantor atau milik negara, misalnya mengambil pulpen dari kantor atau bahkan uang.
D3 (duit, duekuet dan dulur): Merupakan akronim dari duit (uang), duekuet (dekat) dan dulur (saudara). Digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi di mana jika seseorang ingin memperoleh pekerjaan makaia harus mempunyai D-3.
Dikurud: Artinya dipotong, memotongi janggut atau kumis. Kemudian digunakan untuk menggambarkan anggaran yang dipotong atau mengambil benda yang bukan miliknya. Misalnya suatu daerah menerima dana program, seharusnya 5 juta, tetapi kenyataanya hanya 2 juta karena sudah dipotong 3 juta.
Dipancong: Artinya terkena cangkul secara tidak sengaja, istilah ini kemudian digunakan untuk menggambarkan pemotongan anggaran, baik itu dana proyek maupun dana perjalanan.
Injek: Digunakan untuk menggambarkan penyalahgunaan kekuasaan pejabat yang lebih tinggi untuk menekan pejabat yang lebih rendah yang dianggap menghalangi.
Padang
Uang takuik: Uang takut, uang yang dipungut secara liar oleh preman dan agen liar di terminal atau di daerah-daerah tertentu yang dilewati oleh angkutan umum.
Jariah manantang buliah: Setiap ada pekerjaan harus diberi imbalan.
Bajalan baaleh tapak: Setiap ada perjalanan harus ada ongkosnya baik uang makan maupun uang yang diberikan ketika suatu urusan telah selesai.
Bakameh: Uang yang diberikan kepada seorang pejabat yang akan dipindahtugaskan atau habis masa jabatannya. Orang yang memberikan bakameh adalah mitra atau rekan pejabat tersebut.
Sumbar: Merupakan akronim dari semua uang masuk bagi rata. Misalnya, dalam suatu proyek ada dana sisa hasil proyek maka dana tersebut harus dibagi rata kepada semua orang yang terlibat dalam proyek tersebut.
Uang danga: Uang dengar, yakni uang yang didapat dari kehadiran dan mendengar suatu transaksi yang bernilai jual.
Makasar
Pamalli kaluru: Tindakan yang dilakukan oleh petugas yang meminta imbalan uang kepada warga yang mengurus suatu urusan/surat-surat. Pihak-pihak yang terlibat adalah petugas suatu instansi pemerintah yang berurusan dengan surat-surat resmi, seperti imigrasi, keluruhan dan ditlantas
Pamalli bensing: Seseoarang yang meminta uang pembelian bensin kepada pejabat, jika ia akan bertugas karena diperintah oleh pejabat yang bersangkutan.
Passidaka: Memberikan hadiah sebagai penghormatan kepada tokoh agama atau tokoh masyarakat. Kemudian berkembang, pemberian hadiah itu tidak hanya ditujukan kepada tokoh agama/masyarakat, tetapi juga kepada pejabat. Tujuannya agar mendapatkan posisi yang baik dalam pekerjaan, mendapatkan kenaikan jabatan atau agar urusan bisnisnya diperlancar.
Pa'bere: Pemberian kepada seseorang yang berjasa membantu urusan seperti KTP, SIM atau STNK sehingga proses pembuatanya cepat dan mudah.
Dikobbi: Tindakan yang dilakukan petugas/aparat ketika meminta sesuatu imbalan kepada yang berurusan, cukup dicolek saja agar urusan lancar. Istilah ini digunakan untuk memperhalus perilaku petugas yang meminta sogok.
Amapo (uang amplop): Digunakan oleh wartawan yang biasa meminta amapo kepada pejabat yang diwawancarainya. Istilah ini menggambarkan praktek penyuapan.
Sejumlah Peraturan yang Terkait dengan Pemberantasan Korupsi
TAP MPR
TAP MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme
Undang-Undang
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Undang-undang No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Penjelasan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 32 Tentang Pemerintahan DaerahPenjelasan Undang-undang No. 32 Tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
Undang-undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Republik Indonesia
Undang-undang No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Instruksi Presiden
Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi 2004
Keputusan Presiden
Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2006 Tentang Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi
Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Keputusan Presiden No. 61 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1970 Tentang Pembentukan "Komisi 4"

Peraturan Daerah
Peraturan Daerah Kabupaten Solok No. 5 Tahun 2004 Tentang Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat
Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Perkara dengan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006: Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Perkara dengan Nomor 010/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006: Pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945
Putusan Perkara dengan Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006: Pengujian UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan terhadap UUD 1945
Putusan Perkara dengan Nomor 069/PUU-II/2004 tanggal 15 Desember 2005: Pengujian UU No.30 Tahun 2002 Pasal 68 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Pasal 28 huruf I ayat (1) Perubahan Kedua UUD Negara RI Tahun 1945
Putusan Perkara dengan Nomor 006/PUU-I/2003 tanggal 30 Maret 2004: Pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPTPK
Putusan Perkara dengan Nomor 024/PUU-I/2003 tanggal 13 Juli 2004: Pengujian UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Putusan Perkara dengan Nomor 004/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004: Pengujian UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
Demikian materi yang bisa saya sampaikan apabila ada tulisan yang tidak benar hendaknya diberikan maaf kepada saya hal tersebut dikarenakan kekurangan saya semata dan tidak ada hal dan tujuan lain.Saya sangat berharap mendapat tanggapan dan masukan dari siapapun termasuk pakar hukum dan rekan mahasiswa.